Sejuta Rasa Menjadi Mahasiswa
Indahnya Menjadi Mahasiswa
Brakk….
“Aduh”, sepeda miniku terjatuh, aku
mencoba bangun. Aku melihat siapa yang tabrak aku, sosok yang ganteng, dengan
Honda Vixionnya.
“Maaf, saya gak nampak, tadi
mobilnya lewat pikir gakda orang.” Setelah aku bisa menguasai diri, hanya
kata-kata itu yang bisa ku ucapkan. Memang tadi aku gak lihat ada honda di
belakang mobil dan ini parkir kampus, jadi wajarlah jalannya sempit begini.
Tapi kenapa mesti aku yang jatuh. Gimana dengan sepeda miniku lagi. Kalau
pemuda ini jelaslah gak apa-apa, pake Vixion dan yang jatuh kan aku bukan dia.
“Iya, gak apa-apa kok” Huff, aman
gak ada berantem-berantem atau marah-marah.
“Kamu gak apa-apa kan” Sosok pemuda
di depanku melihat sepedaku dan keadaanku sekilas. Sambil mengosok tangan dan
menyingkirkan debu dari baju aku mengelengkan kepala.
“Iya gak apa-apa, Makasih ya.” Aku
pun berlalu dengan mengendarai sepedaku. Alhamdulillah sepedaku baik-baik aja.
Inilah transportasi yang ku punya sebagai mahasiswa. Bukan apa orang tuaku
sebagai petani cukup susah di kampung, bagaimana aku bisa merepotkan mereka
dengan banyaknya keinginanku. Aku jadi teringat hari terakhir sebelum berangkat
ke kota di tempat kampusku berada.
“Nak, untuk apa kami susah-susah
kerja kalau kami mau kau jadi seperti kami. Mudah bagi kami untuk bilang ke
kau, gak usah kuliah aja, bantu amak di sini. Tapi itu tidak mungkin kami
lakukan, cukuplah kami generasi terakhir yang merasa susahnya cari rezeki dan
kau anak-anak bapak belajar rajin-rajin biar amak bapak bangga ama kau.”
Kata-kata bapak tergiang di hatiku.
Memang aku sempat protes.
“Aini gak mau merepotkan bapak sama amak,
gak apa-apa Aini gak kuliah aja. Uang kuliah mahal”. Tau apa jawaban bapakku.
“ Memang uang kuliah kau mahal,
memang uang kami sedikit, tapi bapak mamak mau kau bangga kami telah berusaha
menghasilkan anak-anak kami tidak seperti kami. Kami tak menyesal begini nak,
yang penting di kampus kau nanti belajar rajin-rajin. Jangan jadi bodoh tanpa
pendidikan, hidup ini keras nak, biar kami aja yang tau bagaimana kerasnya
hidup. Kau jangan takut, kami di sini kuat untuk kirim kau duit.” Aku terdiam,
mamak yang disamping bapak pun mengangguk setuju. Dengan berat hati aku
meninggalkan kampung menuju kota dengan berbekalkan sedikit uang jajan dan
sepeda mini mamak yang masih baru, dan sekarang hari pertama aku di kampus. Sekali
lagi aku melihat sepeda pemberian mamak, moga baik-baik saja sepeda ini.
Perjuangan belum pun mulai. Dan seperti tadi masih baik-baik sepeda ini
kulihat.
“Ruang 7,” Bisik hati kecilku
mencari ruang belajarku. “Oh ini dia”, Aku langsung masuk ruang 7, dan semua
tempat sudah penuh dengan mahasiswa, mungkin aku terlambat, gara-gara kejadian
tabrak yang gak seberapa tadi dan ngelamun ingat mamak bapak di kampung.
“Ops” tempat kosong itu di samping
pemuda yang punya Vixion tadi. Aku menganggukkan kepala tanda sopan dan
tersenyum padanya lalu aku pun duduk di samping pemuda itu. Pemuda itu pun
tersenyum padaku. Seperti biasa pelajaran hari pertama adalah perkenalan.
“ Namaku Amar.”
“ Aku Aini” Dari perkenalan itu yang
membuatkan aku mengenali Amar, pemuda yang sombong tapi denganku tidak. Alasan
kenapa ia bisa tidak sombong denganku sangat tidak jelas.
“Karna aku merasa kamu sopan aja Aini.” Kata-kata itu
muncul ketika aku bertanya kenapa mau berteman denganku.
“Emang yang lain gak sopan ya?” Aku
rasa aneh aja dengan kenyataan Amar.
“Tidak semua sopan Aini. Sebenarnya
aku yang salah waktu tertabrak kamu tapi
kamu yang minta maaf padaku. Kesopananmu waktu itu menghentikan langkahku yang
ingin memarahimu walaupun aku tau aku salah.” Aku hanya tersenyum mendengar
jawabannya.
Menjadi mahasiswa aku jalani dengan
sabar dan tenang, aku coba juga untuk kerja apa yang bisa, seperti buat bros,
jual kue, bantu gosok baju dan sebagainya. Walaupun gak seberapa dan masih
kuliah aku tetap berusaha kuat, sehinggalah semester 5. Ketika mau bayar spp
orangtuaku gakbisa kirim uang.
“ Nak, sawah kita kering jadi gak
bisa panen, kami di kampung berdoa supaya turun hujan. Rata-rata masyarakat
kampung bulan ini gak banyak pendapatnya.” Lidah aku kelu untuk mengatakan
tanggal bayar spp hampir tiba.
“Iya amak, Aini doakan sawah kita bisa
panen secepatnya. Ya Allah turunkan hujan. Aamiin”. Amak di panggilan tertawa
kecil. Kepalaku pusing memikirkan bagaimana dengan kuliahku sekarang.
Sehinggalah kemunculan Amar disampingku.
“Aini, aku gak mau kuliah lagi”.Ntah
apa yang membuatkan Amar bisa mengatakan seperti itu kepadaku.
“Aku capek Aini, lihat kakak abang
aku. Capek-capek kuliah gak kerja pun. Uang setiap hari dikasi papaku. Sama aja aku nanti habis kuliah tinggal minta
aja uang sama papa kan, mending aja aku gaksah kuliah kalau gini.” Amar
melanjutkan kata-katanya. Air mataku sepertinya akan mengalir.
“Lho kamu kok nanggis Aini.” Dan
Amar menyadari ada titisan bening di mataku.
“Asal kau tau aja Amar, kita emang
dalam posisi yang sama, bisa bakalan gak kuliah kita semester depan. Bakalan
gakda lagi kita di kampus ini. Tapi yang buat kita beda adalah, aku gak bisa
kuliah lagi karna seusaha apa pun aku berusaha, kerja sana kerja sini tetap gak
cukup untuk bayar spp dan kamu?. Kamu dengan gampangnya memutuskan untuk tidak
kuliah karna orangtua kamu kaya dan aku harus menanggis untuk mengambil
keputusan berat ini. Andai aja kamu seperti aku, yang ada sedikit uang kalau
padi bisa panen pasti kamu akan menyesal seumur hidupmu karna telah mengucapkan
kata seperti tadi. Aku kecewa sama kamu.” Masih dalam tanggisan aku bangun dan
meninggalkan Amar dalam keadaan yang melongo.
Tanggal
bayar spp hari ini, aku melangkahkan kaki ini menuju akademik mahasiswa. Berat
langkah kaki aku tapi aku terpaksa, semoga saja permohonan aku diterima,
permohonan untuk non-aktifkan kuliah semester 5 ini.
“ Siapa nama kamu?” tanya ibu di
akademik.
“ Aini Humaira bu”.
“ Loh kok kamu mau non-aktif. Kan
kamu dah bayar spp pagi tadi.” Jantung aku seperti berhenti berdetak. Apa bukan
mimipi ini.
“ Serius ibu?” Ibu itu mengangguk
dan menunjukkan nama aku yang udah bayar spp. Aku keluar dengan hati yang cukup
senang. Hanya Allah yang tau.
“Bagaimana, kita masih berada di
kampus ini untuk semester depan kan?” Suara Amar. Amar tersenyum menatapku.
Sejak kapan Amar ada di akademik. Aku bisa tebak kenapa spp aku lunas. Pasti
ulah anak di depanku. Mau aja aku ucap terima kasih sekarang.
“Makasih ya udah nyadarkan aku”.
Belum sempat aku mengatakan terima kasih, Amar udah memulakan percakapan. “Aku
janji aku akan mandiri mulai sekarang.” Lagi-lagi kata Amar meluncur keluar.
“ Amar, bagaimana aku bisa bayar
uang kamu ni?. Makasih banyak ya”
“Ops, kalau tentang itu kamu harus
buktikan pada aku, kamu akan banggakan kampus kita dengan pencapaian mahasiswa
terbaik. Hutangnya aku lunaskan”. Amar tersenyum lagi dan aku?. Serius!
Sejak itu, aku semakin giat belajar
untuk membanggakan orangtua di kampung dan kampus dengan memperoleh pencapaian
terbaik. Hasilnya luar biasa, tepat 4 tahun dengan nilai terbaik aku berhasil
memperoleh predikat mahasiswa terbaik dan cumloade.
Saat yang paling mengembirakan
adalah ketika wisuda, Amar juga memperoleh pencapaian di atas rata-rata. Orang
tuaku dan orang tua Amar turut berbangga pada kami dan yang paling tidak ku
sangkakan adalah bisikan Amar di telingaku.
“Nikah yuk” desir hatiku tiba-tiba,
apakah benar ni atau mimpi dan Amar masih tersenyum. Aku hanya mengangguk
malu.
Komentar
Posting Komentar