Karena Tuhan Tak Pernah Melupakan Kita - Full Story- Happy Ending

" Kau tau takdir itu apa?" Suara lembut itu terdengar perlahan. Matanya mulai memancarkan sinar kelam. "Aku tak mau percaya dengar takdir". Suara itu menghentikan kata-kataku yang akan menjelaskan pertanyaannya. Matanya kembali melihat laut yang terbentang di hadapan kami.

Sari Intan Zulaika, yang senang dipanggil dengan Zulaika itulah pemilik suara lembut tadi. Zulaika terdiam, sepertinya ada sesuatu yang bening di pelupuk matanya. Aku terkesima, kenapa Zulaikha menanggis. Sambil tertunduk melihat tanah, Zulaika seakan mau melanjutkan kata-katanya.

"Aku akan menikah dua minggu lagi, semua tau itu. Bahkan kau juga tau akan itu kan?" kini matanya melihatku meminta jawaban. Aku mengangguk kepalaku mengiyakannya. Air bening di pelupuk matanya mengalir deras.

"Semua tau aku akan menikah, tetapi kenapa dia meninggalkanku begitu saja" Lantas tangannya menutup muka. Ia terisak-isak di hadapan laut. Di tempat biasa pertemuan kami. Ia menumpahkan segala keluh kesah hatinya di sini.

"Katanya takdir yang memisahkan kami. Akankah aku percaya begitu saja". Suaranya kini terdengar hancur dalam isak tanggisnya. Bagaimana ini, aku tak menyangka kalau hari ini kami akan berada dalam situasi yang sangat rumit. Aku bahkan tak tau mau berbuat apa. Aku hanya memandang sayu kepada Zulaika, gadis yang sangat ku suka.

"Zulaika" Aku mulai mengangkat suara. Aku harus berani. Sudah tekadku untuk meluahkan segalanya.

"Aku akan buktikan takdir itu tak salah Zulaika." Dia melihatku, seolah meminta penjelasan yang lebih jelas lagi. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya.

"Mungkin ada seseorang yang tinggalkanmu seperti Harith, dan alasannya karena takdir. Namun akan ada seseorang lagi yang tulus mencintaimu dan itu juga karena takdir." Kini aku coba mengatakannya.

"Maksudmu apa Amir?" Jelas dia kurang faham.

"Takdirmu akan mempertemukan kamu dengan orang yang mencintaimu." Rasanya aku sudah tuntaskan ketidakfahamannya.

"Bagaimana bisa? Harith mempermainkanku dengan alasan takdir dan kini kau katakan mungkin takdir akan mempertemukan aku dengan orang mencintaiku? Bagaimana kau tau jika kedepan aku tak dipermainkan? Mungkin malah sampai kapanpun aku akan dipermainkan dengan cinta dan alasannya adalah takdir." Jawaban Zulaikha membuatku terdiam. Kini akan aku katakan yang sebenarnya.

"Karna aku percaya dengan takdirku Zulaika, bahwa aku akan mencintaimu setulus hatiku jika kau mau menerima cintaku." Slup, rasanya air liurku tersangkut di kerongkonganku. Aku melihat kedepan.

Speechless. Zulaikha terdiam. Kaget. Mungkin dia tak menyangka kalau sahabatnya akan menyukainya.

"Beri aku waktu untuk berpikir". Zulaika kini siap-siap bangkit. Lalu berjalan meninggalkanku. Sayup-sayup pandangannya hilang dari penglihatanku.

"Arghhhhh" Aku menjerit malu... Malu dengan perbuatanku tadi walaupun lega semuanya sudah terungkapkan.

Kini ingatanku kembali mengenang masa lalu, mengenang awal pertemuanku dengan Sari Intan Zulaika. Tepatnya disini, di laut ini. Aku yang baru pindah dari kota ke desa, merasa terhibur dengan pandangan di hadapanku. Laut yang terbentang luas sangat langka untuk ku dapatkan di kota.

"Indahnya ciptaan tuhan, Subhanaallah, Maha Suci Allah". Gumamku yang tanpa sengaja didengar oleh gadis yang menghantar pesananku, teh hangat dengan gorengan.
"Orang baru ya?" Aku kaget, cantik. Itulah kesan pertama dari Zulaika. Aku mengangguk ketika mengingat pertanyaannya.
"Iya hari ni pindah kemari"Jawabku tersenyum.
"Oh salam kenal, saya Sari Intan Zulaika, semoga tempat ini menyenangkan" entah mengapa aku merasa tempat ini bakal menyenangkan dengan kehadiran gadis itu.

"Saya Amir Asyraf". Kataku membalas senyumannya. Lalu gadis itu bercerita panjang tentang desa ini, tentang sejarah desa, tentang leluhurnya dan aku hanya mampu menyimak semua ceritanya. Ketika hari mulai senja, depan matahari terbenam. Aku melihat silau kecantikan yang tak bisa digantikan dengan kecantikan gadis kota namun aku sadar diri sehingga aku harus pamit.

"Datang lagi ya kemari". Kata-kata itu membuatku senang, dan akhirnya setiap hari aku kesitu hanya untuk bertemu dengan Zulaika. Cinta ini hadir pada kesan pertama dan kesan pertama itu dihancurkan ketika ia membawa seorang lelaki yang bernama Harith.

"Ini tunanganku, aku sering menceritakan tentang kamu kepadanya. Dan ia sangat ingin mengenalimu" Aku lalu bersalam dengan Harith. Hati kecilku memberontak keras, sepertinya aku tak bisa menerima kenyataan ini. Ketika Zulaika pergi mengambil minuman untuk kami Harith mengancamku.

"Aku tau kamu menyukainya, jauhi dia sebelum kamu, aku apa-apakan". Aku menunduk rasanya tak sanggup untuk jauh dari Zulaika.

"Kami cuma sahabat kok. Aku janji." Kecewa, iya aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku membohongi hatiku. Kalau aku menganggapnya sahabat sebenarnya aku ingin lebih. Dan Harith terlihat tersenyum.

Dentuman ombak membangunkan aku dari masa laluku. Aku kembali di tempat biasa. Di tempat Zulaika yang ceria dan selalu tertawa. Di tempat kami berbagi cerita dan tadi tempat ini menjadi curahan luka hati seorang Zulaika. Dan aku menjadikan tempat ini sebagai bukti cinta aku padanya. Mengenang tempat ini rasanya tak sanggup aku pergi. Melihat matahari terbenam menandakan hampir magrib, dengan langkah yang berat aku meninggalkan tempat ini. Pulang.

Setelah seharian aku menjalani hari dengan ketidaktenangan di hati atas peristiwa sore kemaren. Hari ini aku berusaha untuk menginjakkan kakiku di tempat biasa. Tempat jualan ibu Zulaika dimana Zulaika sering membantu ibunya. Di tempat inilah persahabatan kami di mulai. Aku duduk di bangku yang sering aku duduk.
"Pesan apa Amir." Sapa ibu Zulaika, yang dikenal dengan ibu Aminah. Aku melihat sekeliling, mencari sosok Zulaika.
"Zulaika nya ada ibu?" kataku sambil tersenyum. Ibu Aminah membalas senyumanku.
"Zulaika sakit Amir, jadi ibu minta Zulaika tinggal di rumah aja. Kamu sendiri tau kan, dua minggu lagi pernikahannya. Tapi tak apalah mungkin bukan jodoh mereka." Wajah ibu Aminah muram, seperti turut sama merasakan kesedihan anaknya.

"Iya bu, pasti ini cobaan yang sangat berat buat keluarga ibu, apalagi Zulaika." Ibu Aminah mengangguk tanda setuju.
"Saya  ketemu Zulaika dulu ibu ya." Aku pun pamit, ibu Aminah memang sangat baik dengan semua orang. Orangnya dikenal ramah sehingga dagangannya laku keras. Beliau juga senang aku berteman dengan  Zulaika sehingga aku tidak pernah berniat untuk mengkianati kepercayaannya padaku dalam menjaga persahabatan kami. 

Tak jauh dari pinggir laut, aku sudah berada di depan rumah Zulaika. Aku melihat Zulaika termenung di ayunan santai yang diikat di bawah pohon rumahnya. Sore-sore begini angin laut sangat mengasyikkan. Suasana sekarang bisa menenangkan pikiran yang kalut. Kakiku melangkah menuju tempat Zulaika.

"Assalamualaikum." Mata Zulaika memandangku. Matanya suram masih seperti kemaren.
"Wa'alaikum salam." Jawabnya, sambil berdiri dari ayunan. Suasana terkesan kaku, tak ada lagi gelak tawa seperti selalunya ketika pertama bertemu.
"Maukah kawanin aku ke pesisir pantai?" Aku mengiyakan. Berjalanlah kami menuju pantai. Masih seperti tadi, kaku dan diam. Tak tau siapa yang akan memulakan percakapan ini. Sepertinya aku mendengar desahannya.

"Aku..." Iya lagi-lagi Zulaika mendesah. Aku masih diam menanti kalimat selanjutnya.
"Aku tak bisa menerimamu Amir, kau tau kan. Selama ini padaku kau cuma sahabat". Zulaika menunduk dan aku? rasanya hati ini terlalu remuk sudah. Tak bisa lagi ku ungkapkan dengan kata-kata.
"Apapun jawabanmu Zulaika, aku terima dengan senang hati." Lagi-lagi aku menipu diriku sendiri, tidak Zulaika, aku tak bisa menerima jawabanmu itu. Aku mau kau menyambut cintaku layaknya love story. Walaupun hati kecilku menanggis, namun sayangku pada Zulaika tidak membuatku dendam padanya.
"Apapun itu kau tetap sahabatku Amir. Maafkan aku" Zulaika masih menunduk.
"Iya Zulaika. Aku pulang ya." Rasanya tak sanggup lagi untuk tetap di situ, sehingga aku pun pergi meninggalkan Zulaika bersama ombak sore.

Jangan tanya bagaimana keadaanku setelah kejadian tadi. Penolakan Zulaika memberikan dampak untukku. Aku kurung diri di kamar, antara percaya atau tidak aku sudah ditolak. Jam terus berjalan, aku tetap seperti ini. Dari satu jam ke satu jam selanjutnya, tubuhku masih di bawah selimut.  Orangtuaku sempat mengira kalau aku lagi sakit sehingga ibu sudah menyiapkan obat dan makanan di dalam kamar. Sebenarnya hatikulah yang paling sakit.

Sepertinya sudah jam 2 pagi, aku masih tak bisa tidur, aku bangkit menuju kamar mandi. Cuci muka dan lihat cermin. Betapa kasiannya aku, aku hampir menitiskan air mata. Aku berusaha keras untuk bertahan sehingga aku pun berwudhu dan melakukan shalat taubat dan hajat.
Selesai shalat, aku berdoa serintih-rintihnya. Doa Nabi Musa "Duhai Pencipta, Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku, sesungguhnya aku sangat memerlukan terhadap apa yang Kau turunkan darinya kebaikan." Aku pun sujud dan merintih sejadi-jadinya hingga tanpa sadar aku tertidur di atas sajadah.

Sore pun tiba, kakiku seperti enggan melangkah ke tempat biasa, tapi aku terpaksa. Untuk membuktikan aku siap menerima keputusan Zulaika. Zulaika sendirian di tempat duduk kami. Masih menunduk lama hingga kehadiranku pun tak disadarinya.

"Assalamualaikum." Zulaika melihatku dan air bening itu masih berbekas di matanya. Zulaika menanggis tapi kenapa?. Cepat-cepat ia menyeka air matanya.
"Wa'alaikumsalam, aku kira kamu tak akan kemari lagi."Aku coba tersenyum walaupun rasanya pahit tak semanis senyumanku yang biasanya ketika bertemu gadis itu.
"Kamu kenapa Zulaika, ceritakanlah semuanya pada sahabatmu ini." Sambil duduk aku memaksanya mengungkap isi hatinya. Walaupun begini, aku tetap tak tega melihat gadis dihadapanku bersedih.
"Tadi aku ke market." Zulaika menarik napasnya, wajahnya bertambah sedih. "Aku melihat Harith berpegangan tangan dengan seorang gadis cantik. Hatiku sangat sakit Amir. Sakit sekali!" Lagi-lagi Zulaika menunduk dan ia terisak-isak.
"Iya Zulaika aku juga tau rasanya penolakan, sesakit apa itu aku juga sudah merasakan." Aku membisu. Zulaika mengangkat wajahnya, memandang tepat pada wajahku.

" Kamu sakit hati karena ditolak olehku kan?" Aku terdiam, rasanya keliru telah mengatakan isi hatiku tadi. Diamku lama.
"Apakah kamu juga merasakan sakit seperti yang kurasakan saat ini” Aku masih diam, cangung bagiku meluahkan kata-kataku selanjut takut akan membuat hatinya bertambah sakit.
“ Diammu sudah memberi tau aku jawabannya. Kamu sakit sekali kan Amir.” Zulaika melihatku sambil menahan air matanya.
“Amir, kamu berjanji gak akan pernah kecewakan aku bisa?” Aku mengangguk, aku tak tau pembicaraan kami akan sampai kemana lagi.
“Baiklah Amir aku akan belajar untuk terima kamu”. Jawaban Zulaika buat aku kanget. Ekspresi muka aku rasanya aneh ketika itu. Dan Zulaika mengangguk saja.
“Betulkah Zulaika?” aku mencoba menyakinkan diriku lagi. Lagi-lagi anggukan itu terlihat. Aku tersenyum senang.
“Jadi kamu menerima lamaran aku Zulaika?” tanyaku tak sabar lagi.
“Iya. Kamu siap kan mengantikan posisi Harith. Pernikahan ini akan berlanjut tanpa Harith tapi pernikahan ini ada dengan kita.” Aku senang sekali. Keputusan ini. Akhirnya membuatkan keluarga kami semua heboh. Walaupun sebagian tak terima tapi mereka akur juga dengan keputusan kami. Mereka tau apa yang terbaik untuk kami berdua.

Hari yang ditetapkan tiba, pernikahan ini berjalan dengan sangat mulus, dan Harith gak hadir mungkin karna malu. Aku senang dengan ketidakhadiran Harith. Tapi tak dengan Zulaika, meskipun wajahnya tersenyum aku tau senyumnya dibuat. Hatinya mungkin sakit.
Pesta yang diadadakan setelah akad selesai sudah, malam pun tiba, aku masih di bawah bantu rapikan meja luar. Aku tau Zulaika dah masuk kamar, bahkan bapak-bapak diluar juga sudah ribut menyuruh aku menyudahi kerja aku di luar. Dengan tersenyum aku pun meninggalkan mereka.

Zulaika pulas tertidur, cantik sekali seperti kesan pertama yang ia tinggalkan padaku ketika pertama kali bertemu. Aku menuju kamar mandi, selesaikan urusan yang belum sempat ku selasaikan yaitu melepaskan kerinduanku dengan dinginnya air.

Aku pun shalat isya dan shalat hajat, seikhlas hatiku berdoa agar rumah tangga kami bahagia selamanya. Aku bersyukur akhirnya gadis yang kucintai menjadi milikku yang sah.

“Barakallahu lakuna wabaraka alaikunna wajama’a fil khair.” Aku mengecup kening Zulaika. Berlinangan air mataku ketika mendengar suara Zulaika ngigau. Bukan sebut namaku tapi nama Harith.

“Harith, Harith”. Suara Zulaika masih terdengar rintih di kupingku dan air mata ini tak bisa berhenti dan akhirnya aku memutuskan ketiduran di atas sajadah dalam doaku yang panjang, semoga kedepan aku lebih bahagia.

Pagi yang indah dan cerah namun tak seceria hatiku, aku teringat kejadian malam tadi, bagiku di hati Zulaika masih ada Harith. Aku melihat Zulaika yang sedang menyiapkan sarapan pagi untukku. Ada rasa sedih di hatiku. Hatiku berusaha keras untuk melupakan peristiwa tadi malam dengan tersenyum dan seolah-olah tak ada apa-apa yang berlaku.

“Assalamualaikum.” Aku melihat keluar siapa yang memberi salam. Ternyata ayahku dengan senang hati aku menyambutnya.

“Ada apa ayah?” tanyaku setelah salam dan mempersilakan duduk.

“Begini Amir, ayah dan mamak harus pulang ke kota karena tugas ayah sudah dipindahkan lagi ke kota dan ternyata masih ada lowongan kerja di kota untuk kamu. Jika kamu mau, kamu bisa juga bawa Zulaika di ke sana. Jika gakmau juga gak apa-apa, kerja di sini juga bisa. Kapan libur bisa ke tempat ayah mamak. Atau kami yang kemari.”  Kini aku gerti maksud kedatangan ayah. Setelah lama aku terdiam akhirnya aku sudah putuskan.

“Amir ikut ayah mamak ke kota, Zulaika di sini aja dulu sebentar. Kalau kerjanya udah menyakinkan Amir akan pulang jemput Zulaika ke sana. Tapi kalau kerjanya gak menyakinkan Zulaika gak perlu lagi bolak balik.” Ayahku terdiam.

“Boleh saja, yang mana baik menurut kamu dan kamu harus membuat kesepakatan dulu dengan istrimu dulu”. Kata-kata ayah menyesakkan hatiku. Sebenarnya aku mau tau akankah ada rindu di hati Zulaika kalau aku jauh darinya. Dan di hadapan ayah, aku pun tersenyum.

“Jadi abang mau ke kota?” Zulaika menanyakanku setelah aku bercerita panjang tentang kehadiran ayah. Panggilannya juga sudah berubah menjadi “abang”. Aku hanya menganggukkan kepala.

“Jika kamu izinin Zulaika.” Jawabanku membuatkan Zulaika terdiam dan menunduk.

“Zulaika izinin.” Jawabnya perlahan, aku pun coba memeluknya perlahan, tak lama dan kaku. Akankah dia merinduiku jika aku jauh. Akhirnya Zulaika menyiapkan pakaianku. Setelah pamit sama keluarganya, aku pun berangkat ke kota bersama orangtuaku. Memang agak kejam baru sehari nikah aku langsung tinggalkan istriku.

Seminggu di kota sungguh tak tertahan lagi rinduku padanya, perjalanan 3 jam tak ada apa-apa bagiku ketika melihat laut di hadapanku dan Zulaika masih di tempat biasa.

“Zulaika.” Zulaika yang melihatku kaget tapi dengan spontan ia memelukku, di depan semua orang, di tempat biasa kami.

“Aku merindukanmu, sangat merindukanmu.” Katanya lirih dengan berlinangan air mata. Terharu, ku rasakan. Akhirnya Zulaika menerimaku setulusnya. Aku yakin kalau Allah tak pernah melupakanku, tak pernah lupakan setiap doaku. Aku membalas pelukannya.

“Aku juga sangat merindukanmu.” Kami berdua tersenyum. Dihari itu kami benar-benar sepasang kekasih. Berpegangan di piggir pantai, melihat indahnya panorama sunset dan berjanji akan menjadi bagian dari diri masing-masing.


Dalam hatiku berteriak “Karena Allah tak pernah melupakan kita!” dan entah bagaimana Zulaika juga mengatakannya “Iya Allah bersama dengan kita.” Tersenyum.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Untuk Pacaran

Guru dan Murid

Takdir Allah