Karena Tuhan Tak Pernah Melupakan Kita - Full Story- Happy Ending
" Kau tau takdir itu apa?" Suara lembut itu terdengar perlahan. Matanya mulai memancarkan sinar kelam. "Aku tak mau percaya dengar takdir". Suara itu menghentikan kata-kataku yang akan menjelaskan pertanyaannya. Matanya kembali melihat laut yang terbentang di hadapan kami.
Sari Intan Zulaika, yang senang dipanggil dengan Zulaika itulah pemilik suara lembut tadi. Zulaika terdiam, sepertinya ada sesuatu yang bening di pelupuk matanya. Aku terkesima, kenapa Zulaikha menanggis. Sambil tertunduk melihat tanah, Zulaika seakan mau melanjutkan kata-katanya.
"Aku akan menikah dua minggu lagi, semua tau itu. Bahkan kau juga tau akan itu kan?" kini matanya melihatku meminta jawaban. Aku mengangguk kepalaku mengiyakannya. Air bening di pelupuk matanya mengalir deras.
"Semua tau aku akan menikah, tetapi kenapa dia meninggalkanku begitu saja" Lantas tangannya menutup muka. Ia terisak-isak di hadapan laut. Di tempat biasa pertemuan kami. Ia menumpahkan segala keluh kesah hatinya di sini.
"Katanya takdir yang memisahkan kami. Akankah aku percaya begitu saja". Suaranya kini terdengar hancur dalam isak tanggisnya. Bagaimana ini, aku tak menyangka kalau hari ini kami akan berada dalam situasi yang sangat rumit. Aku bahkan tak tau mau berbuat apa. Aku hanya memandang sayu kepada Zulaika, gadis yang sangat ku suka.
"Zulaika" Aku mulai mengangkat suara. Aku harus berani. Sudah tekadku untuk meluahkan segalanya.
"Aku akan buktikan takdir itu tak salah Zulaika." Dia melihatku, seolah meminta penjelasan yang lebih jelas lagi. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Mungkin ada seseorang yang tinggalkanmu seperti Harith, dan alasannya karena takdir. Namun akan ada seseorang lagi yang tulus mencintaimu dan itu juga karena takdir." Kini aku coba mengatakannya.
"Maksudmu apa Amir?" Jelas dia kurang faham.
"Takdirmu akan mempertemukan kamu dengan orang yang mencintaimu." Rasanya aku sudah tuntaskan ketidakfahamannya.
"Bagaimana bisa? Harith mempermainkanku dengan alasan takdir dan kini kau katakan mungkin takdir akan mempertemukan aku dengan orang mencintaiku? Bagaimana kau tau jika kedepan aku tak dipermainkan? Mungkin malah sampai kapanpun aku akan dipermainkan dengan cinta dan alasannya adalah takdir." Jawaban Zulaikha membuatku terdiam. Kini akan aku katakan yang sebenarnya.
"Karna aku percaya dengan takdirku Zulaika, bahwa aku akan mencintaimu setulus hatiku jika kau mau menerima cintaku." Slup, rasanya air liurku tersangkut di kerongkonganku. Aku melihat kedepan.
Speechless. Zulaikha terdiam. Kaget. Mungkin dia tak menyangka kalau sahabatnya akan menyukainya.
"Beri aku waktu untuk berpikir". Zulaika kini siap-siap bangkit. Lalu berjalan meninggalkanku. Sayup-sayup pandangannya hilang dari penglihatanku.
"Arghhhhh" Aku menjerit malu... Malu dengan perbuatanku tadi walaupun lega semuanya sudah terungkapkan.
Kini ingatanku kembali mengenang masa lalu, mengenang awal pertemuanku dengan Sari Intan Zulaika. Tepatnya disini, di laut ini. Aku yang baru pindah dari kota ke desa, merasa terhibur dengan pandangan di hadapanku. Laut yang terbentang luas sangat langka untuk ku dapatkan di kota.
"Indahnya ciptaan tuhan, Subhanaallah, Maha Suci Allah". Gumamku yang tanpa sengaja didengar oleh gadis yang menghantar pesananku, teh hangat dengan gorengan.
"Orang baru ya?" Aku kaget, cantik. Itulah kesan pertama dari Zulaika. Aku mengangguk ketika mengingat pertanyaannya.
"Iya hari ni pindah kemari"Jawabku tersenyum.
"Oh salam kenal, saya Sari Intan Zulaika, semoga tempat ini menyenangkan" entah mengapa aku merasa tempat ini bakal menyenangkan dengan kehadiran gadis itu.
"Saya Amir Asyraf". Kataku membalas senyumannya. Lalu gadis itu bercerita panjang tentang desa ini, tentang sejarah desa, tentang leluhurnya dan aku hanya mampu menyimak semua ceritanya. Ketika hari mulai senja, depan matahari terbenam. Aku melihat silau kecantikan yang tak bisa digantikan dengan kecantikan gadis kota namun aku sadar diri sehingga aku harus pamit.
"Datang lagi ya kemari". Kata-kata itu membuatku senang, dan akhirnya setiap hari aku kesitu hanya untuk bertemu dengan Zulaika. Cinta ini hadir pada kesan pertama dan kesan pertama itu dihancurkan ketika ia membawa seorang lelaki yang bernama Harith.
"Ini tunanganku, aku sering menceritakan tentang kamu kepadanya. Dan ia sangat ingin mengenalimu" Aku lalu bersalam dengan Harith. Hati kecilku memberontak keras, sepertinya aku tak bisa menerima kenyataan ini. Ketika Zulaika pergi mengambil minuman untuk kami Harith mengancamku.
"Aku tau kamu menyukainya, jauhi dia sebelum kamu, aku apa-apakan". Aku menunduk rasanya tak sanggup untuk jauh dari Zulaika.
"Kami cuma sahabat kok. Aku janji." Kecewa, iya aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku membohongi hatiku. Kalau aku menganggapnya sahabat sebenarnya aku ingin lebih. Dan Harith terlihat tersenyum.
Dentuman ombak membangunkan aku dari masa laluku. Aku kembali di tempat biasa. Di tempat Zulaika yang ceria dan selalu tertawa. Di tempat kami berbagi cerita dan tadi tempat ini menjadi curahan luka hati seorang Zulaika. Dan aku menjadikan tempat ini sebagai bukti cinta aku padanya. Mengenang tempat ini rasanya tak sanggup aku pergi. Melihat matahari terbenam menandakan hampir magrib, dengan langkah yang berat aku meninggalkan tempat ini. Pulang.
Sari Intan Zulaika, yang senang dipanggil dengan Zulaika itulah pemilik suara lembut tadi. Zulaika terdiam, sepertinya ada sesuatu yang bening di pelupuk matanya. Aku terkesima, kenapa Zulaikha menanggis. Sambil tertunduk melihat tanah, Zulaika seakan mau melanjutkan kata-katanya.
"Aku akan menikah dua minggu lagi, semua tau itu. Bahkan kau juga tau akan itu kan?" kini matanya melihatku meminta jawaban. Aku mengangguk kepalaku mengiyakannya. Air bening di pelupuk matanya mengalir deras.
"Semua tau aku akan menikah, tetapi kenapa dia meninggalkanku begitu saja" Lantas tangannya menutup muka. Ia terisak-isak di hadapan laut. Di tempat biasa pertemuan kami. Ia menumpahkan segala keluh kesah hatinya di sini.
"Katanya takdir yang memisahkan kami. Akankah aku percaya begitu saja". Suaranya kini terdengar hancur dalam isak tanggisnya. Bagaimana ini, aku tak menyangka kalau hari ini kami akan berada dalam situasi yang sangat rumit. Aku bahkan tak tau mau berbuat apa. Aku hanya memandang sayu kepada Zulaika, gadis yang sangat ku suka.
"Zulaika" Aku mulai mengangkat suara. Aku harus berani. Sudah tekadku untuk meluahkan segalanya.
"Aku akan buktikan takdir itu tak salah Zulaika." Dia melihatku, seolah meminta penjelasan yang lebih jelas lagi. Aku menarik nafas sedalam-dalamnya.
"Mungkin ada seseorang yang tinggalkanmu seperti Harith, dan alasannya karena takdir. Namun akan ada seseorang lagi yang tulus mencintaimu dan itu juga karena takdir." Kini aku coba mengatakannya.
"Maksudmu apa Amir?" Jelas dia kurang faham.
"Takdirmu akan mempertemukan kamu dengan orang yang mencintaimu." Rasanya aku sudah tuntaskan ketidakfahamannya.
"Bagaimana bisa? Harith mempermainkanku dengan alasan takdir dan kini kau katakan mungkin takdir akan mempertemukan aku dengan orang mencintaiku? Bagaimana kau tau jika kedepan aku tak dipermainkan? Mungkin malah sampai kapanpun aku akan dipermainkan dengan cinta dan alasannya adalah takdir." Jawaban Zulaikha membuatku terdiam. Kini akan aku katakan yang sebenarnya.
"Karna aku percaya dengan takdirku Zulaika, bahwa aku akan mencintaimu setulus hatiku jika kau mau menerima cintaku." Slup, rasanya air liurku tersangkut di kerongkonganku. Aku melihat kedepan.
Speechless. Zulaikha terdiam. Kaget. Mungkin dia tak menyangka kalau sahabatnya akan menyukainya.
"Beri aku waktu untuk berpikir". Zulaika kini siap-siap bangkit. Lalu berjalan meninggalkanku. Sayup-sayup pandangannya hilang dari penglihatanku.
"Arghhhhh" Aku menjerit malu... Malu dengan perbuatanku tadi walaupun lega semuanya sudah terungkapkan.
Kini ingatanku kembali mengenang masa lalu, mengenang awal pertemuanku dengan Sari Intan Zulaika. Tepatnya disini, di laut ini. Aku yang baru pindah dari kota ke desa, merasa terhibur dengan pandangan di hadapanku. Laut yang terbentang luas sangat langka untuk ku dapatkan di kota.
"Indahnya ciptaan tuhan, Subhanaallah, Maha Suci Allah". Gumamku yang tanpa sengaja didengar oleh gadis yang menghantar pesananku, teh hangat dengan gorengan.
"Orang baru ya?" Aku kaget, cantik. Itulah kesan pertama dari Zulaika. Aku mengangguk ketika mengingat pertanyaannya.
"Iya hari ni pindah kemari"Jawabku tersenyum.
"Oh salam kenal, saya Sari Intan Zulaika, semoga tempat ini menyenangkan" entah mengapa aku merasa tempat ini bakal menyenangkan dengan kehadiran gadis itu.
"Saya Amir Asyraf". Kataku membalas senyumannya. Lalu gadis itu bercerita panjang tentang desa ini, tentang sejarah desa, tentang leluhurnya dan aku hanya mampu menyimak semua ceritanya. Ketika hari mulai senja, depan matahari terbenam. Aku melihat silau kecantikan yang tak bisa digantikan dengan kecantikan gadis kota namun aku sadar diri sehingga aku harus pamit.
"Datang lagi ya kemari". Kata-kata itu membuatku senang, dan akhirnya setiap hari aku kesitu hanya untuk bertemu dengan Zulaika. Cinta ini hadir pada kesan pertama dan kesan pertama itu dihancurkan ketika ia membawa seorang lelaki yang bernama Harith.
"Ini tunanganku, aku sering menceritakan tentang kamu kepadanya. Dan ia sangat ingin mengenalimu" Aku lalu bersalam dengan Harith. Hati kecilku memberontak keras, sepertinya aku tak bisa menerima kenyataan ini. Ketika Zulaika pergi mengambil minuman untuk kami Harith mengancamku.
"Aku tau kamu menyukainya, jauhi dia sebelum kamu, aku apa-apakan". Aku menunduk rasanya tak sanggup untuk jauh dari Zulaika.
"Kami cuma sahabat kok. Aku janji." Kecewa, iya aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku membohongi hatiku. Kalau aku menganggapnya sahabat sebenarnya aku ingin lebih. Dan Harith terlihat tersenyum.
Dentuman ombak membangunkan aku dari masa laluku. Aku kembali di tempat biasa. Di tempat Zulaika yang ceria dan selalu tertawa. Di tempat kami berbagi cerita dan tadi tempat ini menjadi curahan luka hati seorang Zulaika. Dan aku menjadikan tempat ini sebagai bukti cinta aku padanya. Mengenang tempat ini rasanya tak sanggup aku pergi. Melihat matahari terbenam menandakan hampir magrib, dengan langkah yang berat aku meninggalkan tempat ini. Pulang.
Setelah
seharian aku menjalani hari dengan ketidaktenangan di hati atas peristiwa sore
kemaren. Hari ini aku berusaha untuk menginjakkan kakiku di tempat biasa.
Tempat jualan ibu Zulaika dimana Zulaika sering membantu ibunya. Di tempat
inilah persahabatan kami di mulai. Aku duduk di bangku yang sering aku duduk.
"Pesan
apa Amir." Sapa ibu Zulaika, yang dikenal dengan ibu Aminah. Aku melihat
sekeliling, mencari sosok Zulaika.
"Zulaika
nya ada ibu?" kataku sambil tersenyum. Ibu Aminah membalas senyumanku.
"Zulaika
sakit Amir, jadi ibu minta Zulaika tinggal di rumah aja. Kamu sendiri tau kan,
dua minggu lagi pernikahannya. Tapi tak apalah mungkin bukan jodoh mereka."
Wajah ibu Aminah muram, seperti turut sama merasakan kesedihan anaknya.
"Iya
bu, pasti ini cobaan yang sangat berat buat keluarga ibu, apalagi
Zulaika." Ibu Aminah mengangguk tanda setuju.
"Saya
ketemu Zulaika dulu ibu ya." Aku pun pamit, ibu Aminah memang sangat
baik dengan semua orang. Orangnya dikenal ramah sehingga dagangannya laku
keras. Beliau juga senang aku berteman dengan Zulaika sehingga aku tidak
pernah berniat untuk mengkianati kepercayaannya padaku dalam menjaga
persahabatan kami.
Tak
jauh dari pinggir laut, aku sudah berada di depan rumah Zulaika. Aku melihat
Zulaika termenung di ayunan santai yang diikat di bawah pohon rumahnya.
Sore-sore begini angin laut sangat mengasyikkan. Suasana sekarang bisa
menenangkan pikiran yang kalut. Kakiku melangkah menuju tempat Zulaika.
"Assalamualaikum."
Mata Zulaika memandangku. Matanya suram masih seperti kemaren.
"Wa'alaikum
salam." Jawabnya, sambil berdiri dari ayunan. Suasana terkesan kaku, tak
ada lagi gelak tawa seperti selalunya ketika pertama bertemu.
"Maukah
kawanin aku ke pesisir pantai?" Aku mengiyakan. Berjalanlah kami menuju
pantai. Masih seperti tadi, kaku dan diam. Tak tau siapa yang akan memulakan
percakapan ini. Sepertinya aku mendengar desahannya.
"Aku..."
Iya lagi-lagi Zulaika mendesah. Aku masih diam menanti kalimat selanjutnya.
"Aku
tak bisa menerimamu Amir, kau tau kan. Selama ini padaku kau cuma
sahabat". Zulaika menunduk dan aku? rasanya hati ini terlalu remuk sudah.
Tak bisa lagi ku ungkapkan dengan kata-kata.
"Apapun
jawabanmu Zulaika, aku terima dengan senang hati." Lagi-lagi aku menipu
diriku sendiri, tidak Zulaika, aku tak bisa menerima jawabanmu itu. Aku mau kau
menyambut cintaku layaknya love story. Walaupun hati kecilku menanggis, namun
sayangku pada Zulaika tidak membuatku dendam padanya.
"Apapun
itu kau tetap sahabatku Amir. Maafkan aku" Zulaika masih menunduk.
"Iya
Zulaika. Aku pulang ya." Rasanya tak sanggup lagi untuk tetap di situ, sehingga
aku pun pergi meninggalkan Zulaika bersama ombak sore.
Jangan
tanya bagaimana keadaanku setelah kejadian tadi. Penolakan Zulaika memberikan
dampak untukku. Aku kurung diri di kamar, antara percaya atau tidak aku sudah
ditolak. Jam terus berjalan, aku tetap seperti ini. Dari satu jam ke satu jam
selanjutnya, tubuhku masih di bawah selimut. Orangtuaku sempat mengira kalau
aku lagi sakit sehingga ibu sudah menyiapkan obat dan makanan di dalam kamar.
Sebenarnya hatikulah yang paling sakit.
Sepertinya
sudah jam 2 pagi, aku masih tak bisa tidur, aku bangkit menuju kamar mandi.
Cuci muka dan lihat cermin. Betapa kasiannya aku, aku hampir menitiskan air
mata. Aku berusaha keras untuk bertahan sehingga aku pun berwudhu dan melakukan
shalat taubat dan hajat.
Selesai
shalat, aku berdoa serintih-rintihnya. Doa Nabi Musa "Duhai Pencipta,
Pemelihara, Pemberi Rizqi, Pengatur Urusan, dan Penguasaku, sesungguhnya aku
sangat memerlukan terhadap apa yang Kau turunkan darinya kebaikan." Aku
pun sujud dan merintih sejadi-jadinya hingga tanpa sadar aku tertidur di atas
sajadah.
Sore
pun tiba, kakiku seperti enggan melangkah ke tempat biasa, tapi aku terpaksa.
Untuk membuktikan aku siap menerima keputusan Zulaika. Zulaika sendirian di
tempat duduk kami. Masih menunduk lama hingga kehadiranku pun tak disadarinya.
"Assalamualaikum."
Zulaika melihatku dan air bening itu masih berbekas di matanya. Zulaika
menanggis tapi kenapa?. Cepat-cepat ia menyeka air matanya.
"Wa'alaikumsalam,
aku kira kamu tak akan kemari lagi."Aku coba tersenyum walaupun rasanya
pahit tak semanis senyumanku yang biasanya ketika bertemu gadis itu.
"Kamu
kenapa Zulaika, ceritakanlah semuanya pada sahabatmu ini." Sambil duduk
aku memaksanya mengungkap isi hatinya. Walaupun begini, aku tetap tak tega melihat
gadis dihadapanku bersedih.
"Tadi
aku ke market." Zulaika menarik napasnya, wajahnya bertambah sedih.
"Aku melihat Harith berpegangan tangan dengan seorang gadis cantik. Hatiku
sangat sakit Amir. Sakit sekali!" Lagi-lagi Zulaika menunduk dan ia
terisak-isak.
"Iya
Zulaika aku juga tau rasanya penolakan, sesakit apa itu aku juga sudah
merasakan." Aku membisu. Zulaika mengangkat wajahnya, memandang tepat pada
wajahku.
"
Kamu sakit hati karena ditolak olehku kan?" Aku terdiam, rasanya keliru
telah mengatakan isi hatiku tadi. Diamku lama.
"Apakah
kamu juga merasakan sakit seperti yang kurasakan saat ini” Aku masih diam,
cangung bagiku meluahkan kata-kataku selanjut takut akan membuat hatinya
bertambah sakit.
“
Diammu sudah memberi tau aku jawabannya. Kamu sakit sekali kan Amir.” Zulaika
melihatku sambil menahan air matanya.
“Amir,
kamu berjanji gak akan pernah kecewakan aku bisa?” Aku mengangguk, aku tak tau
pembicaraan kami akan sampai kemana lagi.
“Baiklah
Amir aku akan belajar untuk terima kamu”. Jawaban Zulaika buat aku kanget.
Ekspresi muka aku rasanya aneh ketika itu. Dan Zulaika mengangguk saja.
“Betulkah
Zulaika?” aku mencoba menyakinkan diriku lagi. Lagi-lagi anggukan itu terlihat.
Aku tersenyum senang.
“Jadi
kamu menerima lamaran aku Zulaika?” tanyaku tak sabar lagi.
“Iya.
Kamu siap kan mengantikan posisi Harith. Pernikahan ini akan berlanjut tanpa
Harith tapi pernikahan ini ada dengan kita.” Aku senang sekali. Keputusan ini.
Akhirnya membuatkan keluarga kami semua heboh. Walaupun sebagian tak terima
tapi mereka akur juga dengan keputusan kami. Mereka tau apa yang terbaik untuk
kami berdua.
Hari
yang ditetapkan tiba, pernikahan ini berjalan dengan sangat mulus, dan Harith
gak hadir mungkin karna malu. Aku senang dengan ketidakhadiran Harith. Tapi tak
dengan Zulaika, meskipun wajahnya tersenyum aku tau senyumnya dibuat. Hatinya
mungkin sakit.
Pesta
yang diadadakan setelah akad selesai sudah, malam pun tiba, aku masih di bawah
bantu rapikan meja luar. Aku tau Zulaika dah masuk kamar, bahkan bapak-bapak diluar
juga sudah ribut menyuruh aku menyudahi kerja aku di luar. Dengan tersenyum aku
pun meninggalkan mereka.
Zulaika
pulas tertidur, cantik sekali seperti kesan pertama yang ia tinggalkan padaku
ketika pertama kali bertemu. Aku menuju kamar mandi, selesaikan urusan yang
belum sempat ku selasaikan yaitu melepaskan kerinduanku dengan dinginnya air.
Aku
pun shalat isya dan shalat hajat, seikhlas hatiku berdoa agar rumah tangga kami
bahagia selamanya. Aku bersyukur akhirnya gadis yang kucintai menjadi milikku
yang sah.
“Barakallahu
lakuna wabaraka alaikunna wajama’a fil khair.” Aku mengecup kening Zulaika.
Berlinangan air mataku ketika mendengar suara Zulaika ngigau. Bukan sebut
namaku tapi nama Harith.
“Harith,
Harith”. Suara Zulaika masih terdengar rintih di kupingku dan air mata ini tak
bisa berhenti dan akhirnya aku memutuskan ketiduran di atas sajadah dalam doaku
yang panjang, semoga kedepan aku lebih bahagia.
Pagi
yang indah dan cerah namun tak seceria hatiku, aku teringat kejadian malam
tadi, bagiku di hati Zulaika masih ada Harith. Aku melihat Zulaika yang sedang
menyiapkan sarapan pagi untukku. Ada rasa sedih di hatiku. Hatiku berusaha
keras untuk melupakan peristiwa tadi malam dengan tersenyum dan seolah-olah tak
ada apa-apa yang berlaku.
“Assalamualaikum.”
Aku melihat keluar siapa yang memberi salam. Ternyata ayahku dengan senang hati
aku menyambutnya.
“Ada
apa ayah?” tanyaku setelah salam dan mempersilakan duduk.
“Begini
Amir, ayah dan mamak harus pulang ke kota karena tugas ayah sudah dipindahkan
lagi ke kota dan ternyata masih ada lowongan kerja di kota untuk kamu. Jika
kamu mau, kamu bisa juga bawa Zulaika di ke sana. Jika gakmau juga gak apa-apa,
kerja di sini juga bisa. Kapan libur bisa ke tempat ayah mamak. Atau kami yang
kemari.” Kini aku gerti maksud
kedatangan ayah. Setelah lama aku terdiam akhirnya aku sudah putuskan.
“Amir
ikut ayah mamak ke kota, Zulaika di sini aja dulu sebentar. Kalau kerjanya udah
menyakinkan Amir akan pulang jemput Zulaika ke sana. Tapi kalau kerjanya gak menyakinkan
Zulaika gak perlu lagi bolak balik.” Ayahku terdiam.
“Boleh
saja, yang mana baik menurut kamu dan kamu harus membuat kesepakatan dulu
dengan istrimu dulu”. Kata-kata ayah menyesakkan hatiku. Sebenarnya aku mau tau
akankah ada rindu di hati Zulaika kalau aku jauh darinya. Dan di hadapan ayah,
aku pun tersenyum.
“Jadi
abang mau ke kota?” Zulaika menanyakanku setelah aku bercerita panjang tentang
kehadiran ayah. Panggilannya juga sudah berubah menjadi “abang”. Aku hanya
menganggukkan kepala.
“Jika
kamu izinin Zulaika.” Jawabanku membuatkan Zulaika terdiam dan menunduk.
“Zulaika
izinin.” Jawabnya perlahan, aku pun coba memeluknya perlahan, tak lama dan
kaku. Akankah dia merinduiku jika aku jauh. Akhirnya Zulaika menyiapkan
pakaianku. Setelah pamit sama keluarganya, aku pun berangkat ke kota bersama
orangtuaku. Memang agak kejam baru sehari nikah aku langsung tinggalkan
istriku.
Seminggu
di kota sungguh tak tertahan lagi rinduku padanya, perjalanan 3 jam tak ada
apa-apa bagiku ketika melihat laut di hadapanku dan Zulaika masih di tempat
biasa.
“Zulaika.”
Zulaika yang melihatku kaget tapi dengan spontan ia memelukku, di depan semua
orang, di tempat biasa kami.
“Aku
merindukanmu, sangat merindukanmu.” Katanya lirih dengan berlinangan air mata. Terharu,
ku rasakan. Akhirnya Zulaika menerimaku setulusnya. Aku yakin kalau Allah tak
pernah melupakanku, tak pernah lupakan setiap doaku. Aku membalas pelukannya.
“Aku
juga sangat merindukanmu.” Kami berdua tersenyum. Dihari itu kami benar-benar
sepasang kekasih. Berpegangan di piggir pantai, melihat indahnya panorama
sunset dan berjanji akan menjadi bagian dari diri masing-masing.
Dalam
hatiku berteriak “Karena Allah tak pernah melupakan kita!” dan entah bagaimana
Zulaika juga mengatakannya “Iya Allah bersama dengan kita.” Tersenyum.
Bagus kak :)
BalasHapusMakasih ya dek :)
BalasHapus