Maaf Itu Sederhana
Cinta Dan Benci
“ Pengalaman pahit itu ada, kenangan yang menyakitkan telah
melukai sekeping hati yang dulunya pernah sayang, dulunya pernah cinta tapi
kini berubah menjadi benci. Kenapa?. Hati ini telah dilukai, ditoreh dengan
peristiwa yang menyakitkan hingga luka itu bisa berdarah kembali, luka ini lah
yang mengeluarkan kata “BENCI” dan karna luka ini mengalirlah kata-kata aku
tidak akan memaafkan kesalahannya seumur hidupku.”
***
Hati ini senang, bibir ini tidak bisa berhenti tersenyum. Ah
rasa, rasa ini membuat aku percaya padanya. Pasti kedepan aku akan aman dengannya.
Aku yakin dan sangat percaya dia yang akan membimbingku ketika aku melakukan
kesalahan, ketika aku khilaf dan ketika aku yang masih dalam proses belajar.
Aku berterima kasih dan bersyukur kepada
Allah, telah menghadirkan seseorang yang mau menerimaku karna aku tau dia
adalah pilihan terbaik yang aku punya. Aku benar sangat senang setelah
mengetahui dia yang mau membimbingku kedepan.
Hari-hari yang aku jalani membuatkan aku berpikir, setiap hari bagaimana
agar bisa bertemu dengannya. Bagaimana cara agar aku bisa lebih dekat dengannya
sehingga dia mau membimbingku dengan ikhlas, mengajarkan apa yang kurang aku
ketahui karna aku masih dalam proses belajar.
Rasa ini mulai aneh, sepertinya hanya aku yang terlalu senang untuk
bertemu dengannya. Sedangkan dia “maaf hari ini sibuk”, “oh gak sempat hari ini”,
gak bisa lah dan banyak lagi yang aku terima darinya. Hari-hari yang aku lalui,
aku tempuhi dengan berbaik sangka setiap saat aku harus kuat untuk berbaik
sangka padanya, sehingga kata menyerah untuknya tidak pernah terucapkan dari
hati kecilku ini.
Nah, apa yang terjadi, ketika semua orang tau aku dengannya, ketika
semua tau aku membanggakannya ketika semua tau dia yang akan membimbingku dan
semua tau aku tak pernah menyerah untuknya dan aku ingin mengerti dia apa
adanya. Bayangkan saja di kontak hpku, namanya ku tarok seindah mungkin, sampai
sekarang gak bisa ku ganti. Bayangkan saja, setiap orang yang melihat bagaimana
dia memperlakukan aku depan mereka semua, aku masih mengatakan berbaik
sangkalah.
Kini, ketika aku butuh pertolongan sedikit lagi sampai waktu untuk
aku menuju kemenangan, dia yang menghancurkan kenyataan di depan mataku. Bukan
mimpi yang dihancu rkannya tapi kenyataan yang telah aku bina selama
bertahun-tahun. Bagaimana aku bisa berbaik sangka lagi. Bagaimana bisa aku
tidak menyerah, sedikit lagi aku menang, dia seakan menolak untuk mengerti aku,
menjadikan aku sebagai korban.
Ya Allah, ujian darimu membuatkan aku seperti tidak tentu arah
saja, aku menanggis sebentar-bentar. Kenapa dia tidak mau membantu aku untuk
masa depanku, kenapa malah dia yang menghancurkan masa depanku. Tanggisanku
tiada hentinya, sedikit teringat tentangnya bercucurlah air mataku. Kesal
sekali, aku bisa menganggap dia bagian dari aku, tapi ternyata dia tidak bisa.
Kesal sekali, yang membuat aku sedrop ini adalah dia.
Keluarlah kata-kata, aku tidak akan memaafkannya seumur hidupku. Seumur
hidupku tidak akan aku melupakan perbuatannya. Semua yang mengalir bukan dari
hatiku tapi dari amarahku yang membuatkan hilang rasa cinta, hilang rasa kasih
yang muncul adalah rasa benci.
Aku seperti terjatuh ke jurang yang dalam, masalah yang muncul
seperti tidak pernah berhenti. Bahkan ketika aku merasa dia yang bersalah karna
membuat aku berantakan seperti ini tapi di depan orang ramai dia bisa
menyalahkan aku dengan argumen-argumennya dan dari caranya dia malah
menyakinkan kepada mereka akulah yang bersalah.
Kini, hari yang aku jalani berbeda seperti masa laluku, hidupku
yang sekarang pupus sudah, tidak seindah masa lalu. Aku jenuh dengan kebencian
ini, aku jenuh dengan kesuraman hidup yang kini ku alami dan aku sangat jenuh
untuk menghidupkan perasaan benci yang sekarang berada di hati.
Setiap hari aku berpikir salahku apa, aku berdoa dan berusaha
mendekatkan diri kepada Allah. Sehingga aku dikuatkan kembali oleh Allah untuk
menjalani masa depanku dan meninggalkan masa lalu yang suram. Aku yakin
sekarang untuk memaafkan dia, meskipun aku merasa bukan salahku tapi aku harus
menghargai argumen dia tentangku, mungkin ada salahku yang tak pernah aku sadar
dan setelah aku berpikir, aku memang salah.
Salah aku karna terlalu berharap seseorang bisa mengerti aku, salah
aku karna berpikir ada yang bisa membimbingku sehingga aku lupa kalau aku
kecewa, kecewa itulah yang paling membekas di hati. Aku lupa kalau aku masih
punya diri aku untuk bangkit sehingga aku terlalu berharap dengan seseorang.
Aku lupa untuk menyakini Allah dalam setiap langkahku sehingga aku bisa hilang
pegangan sehingga bisa kecewa sedemikian rupa.
Kini aku bersyukur, menghadapi masalah serumit itu memang tidak
mudah, tapi yang dinilai adalah prosesnya. Apa yang telah aku belajar selama
menghadapi masalah itu?. Aku belajar untuk menghargai keyakinan yang dia
pegang, aku harus menghargai pendapat yang ia punya dan aku harus hargai
pernilaiannya tentang aku.
Aku belajar bagaimana untuk menghadapi hari-hariku kedepan dengan
melupakan kenangan yang menyakitkan aku, belajar untuk melihat hal baik yang
telah ku lewati dan meninggalkan kenangan buruk yang pernah ku alami. Bahkan
aku belajar untuk melupakan hal-hal yang tidak pantas untuk ku ingat, hal-hal
yang akan membuatkan sakit hati.
Aku belajar untuk memaafkan orang yang pernah aku katakan tidak
akan memaafkannya seumur hidupku, aku belajar untuk mengintropeksi diri benci
ini hanya merugikan diriku sendiri dan sekarang aku menjalani hariku dengan
hal-hal yang baik saja.
Kami ditakdirkan oleh Allah untuk bertemu dalam suasana yang tidak
pernah diduga, dia kaget melihatku, dalam reaksi cueknya aku tau, dia coba
untuk mengontrol emosinya. Dengan keberanian aku menghampirinya “maafkan aku”hanya
itu kata yang bisa aku katakana dan yang ku dengar adalah “kamu gak berdosa
yang berdosa adalah aku”. Intinya pertemuan terakhir kami berjalan mulus dengan
rasa saling memaafkan dan aku tidak tau hatinya sekarang apakah ia benar telah
memaafkan aku tapi aku yakin aku telah memaafkannya.
“Benci sangat jenuh terasa ketika menguasai jiwa, seperti
menyakitkan sekali bahkan jika masih sempat kupelihara kebencian ini, aku
percaya jiwaku akan sakit. Aku berpikir, hidup seperti ini tidak ada gunanya,
jadi aku memanfaatkan sisa hidupku ini dengan mengubah kebencian yang sekarang
dengan memberikan kemaafan kepada seseorang yang ku benci. Hasilnya hidupku
kini normal dan kini aku belajar untuk menerima kenyataan sekarang bahwa masa
depanku bisa lebih baik dari dulu.”
Berharap sekedarnya. Mungkin itu lebih baik dibanding harus menahan sakit, saat harap tak sesuai dengan ekspektasi.
BalasHapusKayak baca pengalaman sendiri nih, Mbak :')