Cinta Di Ufuk Senja


Percayalah senja tidak akan berlama-lama untuk menuju malam, titik di mana putih akan menyising dari samar bayangan langkah. Aku terpana, putih itu bercahaya di bawah terpaan langit jingga. Kuatkan perasaan yang mulai hanyut dalam senyum putihnya. Aku jatuh pada lembah yang seharusnya belum pantas tapi aku tak berdaya, semuanya telah terhanyut pada putih senjanya.
Putih, sejatinya aku terpana dengan warna putih itu sejak kehadiran gadis “putih” itu. Gadis itu datang dengan berbaju putih, jilbab besarnya ditiup angin juga berwarna putih. Sungguh aku terpana, terpesona dengan wajahnya yang cantik, cocok sekali dengan warna putih. Mataku tidak berhenti menatap kedatangan gadis “putih” itu. Gadis itu menundukkan wajahnya sambil berjalan sedangkan aku, mataku mula liar memandang kecantikkannya.
Senja ini menjadi saksi, gadis ini terlanggar aku. Bukan salahnya, bukan salahku. Gadis ini menunduk dan aku tidak bergerak, kakiku kaku. Lalu, berselerakan bukunya. Aku membisu, tidak membantu dan tidak pula bergeming. Aku hanya memandang dan aku rasa. Aku sedang jatuh cinta.
“Maafkan saya.” Gadis itu pergi setelah mengatakan itu. Aku sedih. Sebelum aku berlama-lama aku sadar, ada lembah yang menghampiriku. Aku katolik bagaimana mungkin gadis putih ini menerima aku. Dia Islam. Aku menutup mukaku. Aku luluh tidak berdaya, aku telah jatuh cinta pada seorang gadis “putih”, bertemankan senja yang  memberikan warna lain selain putih, ungu, jingga dan merah pink.
Malam tiba, keluargaku menyadari kelainan aku. Keceriaanku hilang, selera makanku sirna. Mereka bingung tapi tidak bisa berbuat apa. Aku hanya mendiamkan diri, ingin sendirian sambil berpikir. Apa maksud pertemuan tadi dengan seorang gadis beragama Islam dan rasa cinta pada pandangan pertama. Sungguh membinggungkan.
Akhirnya tiba juga waktu senja, seharian penuh aku menanti. Rasa jenuh jangan tanya, perasaanku tidak menentu, aku hanya ingin melihat gadis kemarin. Betul, aku sedang dilamun cinta. Aku terkejut, pandanganku terlihat gadis kemarin, masih ditiup angin hanya saja kali ini warna pink. Apapun itu, kecantikkan gadis ini sangat elok digandingkan dengan warna apapun dan aku hanya ingin menyapa walaupun takut.
“Hai.” Gadis itu masih menunduk. Aku serba salah.
“Saya minta maaf.” Gadis itu melihat wajahku. Jantungku, tidak dapat dikawal lagi. Degupannya seakan aku ingin terbang.
“Untuk apa?” Aku tersadar kembali. Suaranya sangat halus.
“ Saya tidak sengaja kemarin.” Gadis itu berpikir, kemudian reaksinya seakan mengingatkan kemarin.
“Oh itu, tidak masalah. Saya juga sudah lupakan.” Kemudian ia mengangguk dan berlalu pergi. Aku tersenyum senang. Hari ini hari paling bahagia dalam hidupku. Mendengar suaranya, melihat wajahnya dan melambaikan tapak kakinya. Gila, aku benar-benar jatuh cinta.
Keluargaku senang melihat aku ceria kembali. Ibu bahkan masak lauk kegemaranku, aku makan dengan lahap. Di meja makan, ayah, ibu, kakak dan abang bahkan tidak menyentuh makanan mereka. Hanya menatap aku, melihat aku menghabiskan sisa makananku. Ayah tersenyum, begitu juga dengan yang lain.
“Bobby, ayah ada kabar gembira, kamu ingat Kristina, anak ibu Marie dan pak Herry. Itu loh tetangga kita dulu. 10 tahun lalu kalian kan selalu bermain bersama. Setelah ayah dan ibu pindah ke sini, kamu dan Kristina pun berpisah. Nah kemarin, Pak Herry hubungi ayah, mereka juga dah pindah ke kota ini. Jadi, kami sangat senang sekali jika Kristina dan kamu menjadi dekat kembali.” Aku terdiam, aku sangat paham pembicaraan ayah.
“Iya yah, nanti aku pikir kembali,” Mereka semua tersenyum dan makan dengan lahap, hanya aku yang sedih, memikirkan cinta dalam diam cukup buat hatiku sesak. Besok senja aku akan kembali lagi di tempat gadis putih itu.
Sore ini, aku baru selesai belanja di toko buku. Aku beli buku bestseller yang baru diterbitkan. Sengaja aku lakukan untuk seseorang lalu aku pun bergegas menuju ke pustaka, tempat kesukaan gadis itu. Di samping pustaka penuh dengan pohon-pohon hijau dan kerusi bawahnya. Aku tebak selesai pustaka tutup gadis itu pasti membaca di bawah pohon lalu di depannya ada jambatan besar yang di bawahnya ada tasik, tasik ini memang untuk didatangi sehingga di pinggir-pinggir jambatan ada kerusi. Bahkan bisa kita berdiri sambil melihat pemandangan tasik ini.
Dua hari kemarin selesai berdiri di pinggir jambatan melihat pemandangan tasik, aku bertemu dengan gadis itu dan hari ini hati aku telah terikat dengan tempat ini sehingga aku mau bertemu dengan gadis itu buat kali ketiga. Tepat waktu senja, gadis itu berjalan, aku tebak pasti mau pulang, masih menunduk seperti selalu dan hari ini warna ungu.
“Hai.” Gadis itu melihat dan tersenyum. Ia mengangguk sebentar sebelum mau pergi.
“Tunggu, ini untuk kamu.” Aku mengulurkan kantong kertas, dalamnya buku yang baru ku beli tadi. Gadis itu terdiam.
“Untuk apa?” Masih seperti kemaren pertanyaannya.
“Untuk kamu, aku ingin menjadi temanmu.” Aku ungkapkan isi hati aku.
“ Oh ndak usah.” Aku tidak peduli, aku meletakkan kantong itu di tangannya. Gadis itu terkejut. Ia cepat-cepat menarik tangannya, tapi kantong kertas itu dah duluan ku tarok di tangannya.
“Maaf ya, tolong ke depan jangan tarek tangan saya sesuka hati kamu. Kita bukan mahram.” Aku malu, lupa kalau Islam melarang bersentuhan lelaki dan perempuan.
“ Saya juga minta maaf tapi nanti tolong jangan nolak pemberian saya lagi.” Akhirnya ia mengangguk dan berlalu pergi. Aku pulang, aku cari di google tentang Islam tentang larangan menyentuh lawan jenis juga tentang kewajiban berjilbab. Aku sudah mengerti tapi aku belum puas rasanya ingin mencari seorang guru.
Besok, ketika sore, aku mencari gadis itu, di jambatan, di dalam pustaka dan di bawah pohon. Aku menemukannya, lagi baca di bawah pohon. Ia kaget melihat kedatanganku. Tatapannya jelas bertanya kenapa kemari. Aku duduk di sampingnya.
“Hai namaku Bobby.” Gadis itu menyahut perlahan.
“Namaku Suci Ananda.” Aku kaget, bukankah warna putih itu identik dengan suci bersih. Dia memandangku heran.
“Maaf, saya ingin mendalami Islam dan perlukan seorang guru.” Gadis itu bangun. Aku sebenarnya takut. Ternyata gadis itu tersenyum.
“Ikut saya, saya kenal seorang guru yang sangat cocok untuk kamu.” Aku mengikuti dan ketika sampai tujuan aku kaget. Guru ini seorang buta. Suci tersenyum. “Memang semua akan melihat Syeikh seperti yang kamu liat, tapi hati Syeikh tidak buta, Syeikh menghapal Al-Quran dan mempelajari hadis, fiqh dan tasawuf. Syeikh berhasil mengislamkan ribuan orang. Jadi, kamu jangan curiga tentang guru kamu yang satu ini.”
Proses ta’aruf dengan Syeikh pun dimulai, betul kata Suci, Syeikh tau aku bukan Islam padahal aku belum bilang apa-apa dan Syeikh berjanji akan mengajari aku tentang Islam. Bermulalah kehidupan baruku, setiap sore, aku akan belajar dengan Syeikh dan aku diIslamkan oleh Syeikh.
Keluargaku sangat marah, apalagi impian mereka untuk menyatukan aku dengan Kristina tidak berhasil. Aku ingat kata Syeikh, hidayah milik Allah, bersabarlah dan berdoa suatu saat keluarga aku juga akan memperoleh hidayah tersebut.
Kini, senja menjadi saksi, aku dan Suci di pinggir jambatan melihat ke depan. Kami baru saja menikah dengan menjadikan Syeikh sebagai wali hakim karena Suci anak yatim piatu. Aku memandangnya, putih senja kini berada di samping aku. Aku mengengam tangannya, tiada lagi lembah dalam kehidupanku. Aku bersyukur, namaku kini Muhammad Fitrah, sekarang aku bisa berbangga dengan diriku sendiri. Suci tersenyum membalas gengaman tanganku. Mata kami memandang ke depan dengan tenang.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Untuk Pacaran

Guru dan Murid

Takdir Allah