Salahkah cinta ini

Aku menunggu kedatangan Aidil. Aku tersenyum hatiku penuh cinta seperti bunga yang bermekaran. Oh tuhan, aku sangat mencintainya bahkan mimpiku setiap hari adalah menjadi isterinya.

Jam 6 pagi aku telefon Aidil minta untuk bersepeda ke pinggir laut tapi aku jalan duluan dan ketemu di tempat. Bahkan di tempat, anganku mulai memuncak senyumku pun rasanya sampai ke puncak.

Memikirnya saja bisa buatku bahagia apalagi jika dapat bersamanya. Aidil sosok yang sangat baik, orangnya lembut, sopan dan ramah. Semua menyukai tapi Aidil hanya menyukaiku seorang.

Empat tahun perkenalan cukup untukku menilainya. Tak pernah marah dan tak pernah berantam. Hubungan kami aman sehingga aku jarang menanggis. Mimpiku untuk bahagia bertemu Aidil membuatkanku sangat bahagia.

Aku mendengar kayuhan sepeda, Aidil datang tepat jam 7 pagi. Senyumannya manis menaruh sepeda di pinggir. Aidil duduk di sampingku.

"Lama ya, maaf tadi waktu ditelpon lagi nunggu azan subuh. Shalat dulu, siap-siap baru kemari." Aku tersenyum.

"Baru kok, baru 10 menit. Kirain gak datang." Dia tersenyum, sungguh manis.

"Datanglah, kenapa pulak gak datang!" Intonasinya menjebak aku tau dia pasti datang. Aku pun ketawa lagi.

"Iya. Iya. Lia tau kok Aidil datang. Makasih ya dah mau datang, padahal Lia baru telpon tadi." Aku menghargai ketulusannya sehingga terima kasih terasa ringan untuk dia.

"Aidil kan gak mungkin kecewain Lia jadi jangan merasa gak enak gitu ya. Mau apapun cukup bilang pasti diusahakan." Aku malu mendengarnya. Sungguh memang dia sangat baik.

"Lia" Aku memandangnya. Hurm. Dia menunduk malu-malu.

"Mahar perempuan mahal gak?" Jantungku berdegup kencang, ini bukan soalan biasa tapi untuk menjebakku.

"Kapan nikahnya?" soalku didiamkan sebentar.

"Pas cukup kumpul mahar Lia." Kini aku ketawa sejadi-jadinya. Bukan karena lucu tapi senang atas kepolosannya. Bahkan senangku lebih besar karena dia sangat mencintaiku.

"Lia gak mahal kok tentuin maharnya. Jangan takut. Nanti Lia minta izin nikah dengan ayah Lia." Rasanya Aidil mulai tenang, wajahnya tak lagi merunduk dalam.

"Baguslah" Hembusan leganya terdengar. Setelah menikmati angin pagi di pinggir laut, kami pun berangkat pulang.

Aku menelpon ayahku di kampung, kami sepakat untuk bertemu di rumah tanteku yang lumayan dekat dengan tempat kuliahku.

Harinya tiba tanteku senang melihat kedatangku. Aku juga senang bisa bertemu dengannya. Kami lama bercerita sehingga cerita kami mulai mengarah kepada Aidil. Sebetulnya tanteku tau, dah 4 tahun aku kenal Aidil tapi hari ini tanggapannya terhadap Aidil mulai aneh.

"Lia, orang yang tinggalnya di pedalaman kampung jarang ada yang baik, bahkan mereka mendekati kita hanya untuk suka-suka. Setelah dapat kita mereka akan memperlakukan kita sesuka hati mereka." Aku terkejut, memang Aidil orang susah tinggal di pedalaman kampung tapi aku tak ingin mempersoalkan tempat tinggalnya. Aku hanya ingin bersama seseorang yang bisa membuatku bahagia.

"Tapi tante, Lia bahagia bersama dia 4 tahun Lia gak pernah sedih dengannya." Aku mau menanggis sebenarnya tapi aku kuatkan hati buat bersabar. Sebentar lagi aku akan bertemu dengan ayahku.

"Lia, ingat Lia lelaki sebelum memiliki kita emang gitu sifatnya apalagi mereka yang di pedalaman kampung pasti gitu. Lagi satu tante mau bilang ke Lia keluarga kita tak ada yang menikah sama orang jauh dari tempat tinggal kita sekarang." Aku terdiam, sedih sekali.

Ayahku tiba aku kira ini mungkin akan menyelesaikan sedihku. Aku menghampiri ayahku buat restunya untuk menikah dengan Aidil. Ternyata dugaanku salah. Baik tanteku begitu juga dengan ayahku, mereka sama.

"Ayah gakmau kasi izin Lia nikah sama Aidil tak sanggup kita 3hari ke rumahnya. Ikutlah kata tantemu cari suami yang sekitar kota tempat tinggal kita saja." Aku pergi ke kamar setelah mendengar ucapan ayahku. Aku menanggis sejadinya. Sungguh ingin mati rasanya. Apa salah Aidil, dia juga gak minta untuk lahir dipedalaman kampung. Bahkan untuk kuliah dia biaya kuliahnya sendiri. Kuliah pagi siang, kerja sore malam. Apa salah dia Ya Allah. Hatiku tak bisa menerima.

Setelah tenang, aku mengambil keputusan ikot kata ayah dan tanteku cari yang dekat. Jelas itu karena waliku ayah.

Setelah kembali ke kota, aku bertemu dengan Aidil. Senyum indah terukir di wajah gantengnya. Beda denganku, wajah pahit sekali. Aku tau dia rindu aku. Setelah bertanya kabar, basa basi sedikit. Aku ke titik terangnya. Pisah.

"Maafkan Lia, Lia dah ketemu penganti Aidil. Kita gak jodoh." Aidil kaget dan aku tak mungkin akan memalukan keluargaku yang sejatinya kuliah tinggi tapi menilai orang dari tempat tinggalnya.

"Lia tolong Lia, salah Aidil apa?. Aidil mau nikah sama Lia. Tolong Lia jangan begini. Jangan tinggalkan Aidil tanpa sebab." Aku mengeleng kepala laju, istilahnya tak ada toleransi lagi dengan keputusan ini. Sebelum tangisanku meledak aku pergi meninggalkannya.

Aku kira Aidil akan membiarku pergi tapi Aidil mengejarku dan berdiri di depanku. "Jika ini keputusan Lia, Aidil mendoakan Lia bahagia." Lalu dia yang pergi meninggalkanku. Kini aku terpaku ditempatku berdiri, dengan longlai aku pergi ke pinggir pantai tempat perjumpaan kami. Disitu aku menanggis semauku, aku menjerit seinginku.

"Aidil, setelah semua selesai aku akan menjemputmu" Jeritanku pun pergi jauh.

Mencari penganti Aidil di kota ini terlalu mudah, tak sampai sebulan. Aku dapat yang mirip Aidil tapi mencari yang sebaik Aidil tak akan ada. Hanya Aidil sendiri yang baik. Pengantinya hanya buat senangkan ayah dan tante aja. Biar mereka tau aku dah pisah sama anak pedalaman kampung dan menikah dengan anak kota.

Aku akhirnya menikah tapi setiap hari menanggis. Setiap hari bisik dalam hati. Ketika tak ada lagi ayah, tante dan pengantimu, tunggulah Aidil. Aku akan mendatangimu, menjemputmu ke hidupku.

*********
Di suatu tempat yang berbeza tapi langkah yang sama.

Kenalkan namaku Aidil, aku sungguh sayang pada seorang gadis, namanya Lia.

Aku cintakan dia dan ingin memperisterinya secepat mungkin. Kerjaku siang malam hanya untuk maharnya. Bahkan ketika mendengar keinginan Lia master setelah ijazah. Aku gadaikan hondaku buat ikot master. Untuk apa?, untuk masa depanku dengannya. Biar Lia senang suaminya Master.

Lia telepon, suaranya berubah. Sekarang harus bertemu. Dari pertama aku merasa tak enak, ada yang tak beres. Aku pergi bertemunya dan betul sekali. Putus dan tiba-tiba. Meskipun aku merayu Lia tak mau dengar. Lia pergi begitu saja.

Hatiku merasa ada yang salah ini pasti bukan Lia, aku sangat yakin. Aku mengejarnya berdiri depannya.
"Jika ini keputusan Lia, Aidil doakan Lia bahagia." Kini aku pergi dengan perlahan, aku mendengar tanggisannya.

Ada sesuatu dengan gadis kesayanganku. Aku ikuti langkahnya dan benar tebakanku. Di atas batu pinggir laut, tempat pertemuan kami. Lia menanggis menjerit sepuas hatinya. " Aidil, setelah semua selesai aku akan menjemputmu." Jeritan itu, aku mendengarnya.
Lia menanggis lagi, tak mungkin untuk aku mendekatinya. Lia bergumam "apa salah Aidil kenapa ayah sama tante gak terima Aidil." Kini sudah jelas persoalannya apa dan terjawab misteri keanehan Lia.

Lia, aku juga ingin menjerit. "Aku akan menunggu semua selesai Lia." Biarlah jeritan ini cukup dalam hati saja.

Setelah semuanya berlalu, aku mendapat kabar Lia menikah. Banyak yang simpati denganku tapi aku hanya tersenyum. Cukup aku yang tau. Boleh 10 tahun, 20 tahun, 30 tahun atau lebih lama lagi aku akan sabar menunggu Lia menjemputku ke dalam hidupnya. Sekarang, aku menikah. Mencari penganti Lia mudah tapi untuk mencintai seperti cintaku untuk Lia tidak akan pernah. Cintaku hanya untuk Lia.

Salahkah cinta kami? Salahkah jika kedepan Lia dan aku harus mengecewakan pasangan kami masing-masing. Mengecewakan anak-anak kami, cucu-cucu kami. Untuk kembali bersama.
Salah siapa? Salah cinta kami kah?

Biarlah Allah mengatur bagaimana perjalanan hidup kami. Kami cukup kuat untuk menjalani hari sekarang karena masing-masing kami ada tujuan.

Cinta!

Komentar

  1. Makasih y tas komentar mbk vinny ntik ku mampir blognya y

    BalasHapus
  2. Ketika cinta dikorbankan demi gengsi keluarga. Sedih jadinya. :(

    BalasHapus
  3. Ia mbk Fika kadang cinta gk salah cuma keadaan yang tak mendukung

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINDU

Tidak Untuk Pacaran

Guru dan Murid