Gerhana Cinta Rania

Malam gelap masih panjang, angin dingin menyusup ke tubuh. Bahkan yang sedang tidur. Ketika bangun tulang mereka pasti kesakitan.

Bulan purnama menyinari langit. Sepi. Di suatu kamar kecil, di ruang yang paling sudut. Lampu remang-remang. Seorang gadis kumat-kumat mulutnya membaca mantera. Lalu ia menaburkan sesuatu dalam panji yang sedang dijerang, rambut kuntilanak, hati ayam jantan kampung dan darah gagak.

Kemudian ia menitiskan darahnya beberapa titis. " Wahai Lucifer, kumohon kecantikan yang abadi, kurniakanlah". Terdengar satu suara bergema.

"Akan kulakukan!" Rania tersenyum. Semalaman ia bergadang melakukan ritualnya. Hanya karena sekarang sedang bulan purnama.

Pagi-pagi Salena datang, Salena pembantu Rania yang akan membantu segala keperluan Rania. Selepas orangtua Rania meninggal karena kalah sihir, Rania mendapatkan saka keturunan sihir merah dari orang tuanya.

Di dunia sihir terdapat jenis warna, sihir hitam, sihir putih, sihir biru dan sihir merah. Segala kekuatan sihir Rania ia masukan dalam satu bebola kristal yang ia namakan Red Tear. Tangisan merah kesedihan mengenangkan kematian ibubapanya.

Rania merengus melihat kedatangan Salena, menandakan ia masih ingin melanjutkan ritualnya  Salena tersenyum, Rania baru 17 tahun jadi ia sangat paham dengan sifat kekanak-kanakkan.

"Puteri Rania, hari ni Salena menjemput Puteri untuk ke sekolah. Hari ini hari pertama persekolahan dan Puteri harus ke sekolah, supaya generasi sihir merah tidak kalah pintar dalam akademik dan pergaulan."

"Aku gak mau!" Rania memberontak.

" Ayah Bonda Puteri pasti kecewa jika mengetahui sifat Puteri begini. Cobalah untuk membahagiakan mereka. Mereka sangat senang jika Puteri mau bersekolah." Mendengar Salena menyingung orangtuanya. Hati Rania mulai melembut. Walaupun masih memberontak Rania mulai mandi dan memakai pakaian sekolah. Salena tersenyum usahanya tidak sia-sia tiap tahun menyingung orangtua Rania.

Sebetulnya kematian orangtua Rania baru dua tahun. Seorang ustaz menyembelih jin yang ada dalam tubuh orangtua sehingga orangtua meninggal karena sakit yang datang tiba-tiba. Selepas dua tahun, Salena yang menjaga Rania, yang tiap tahun memujuknya untuk ke sekolah dan kali ini sekolah yang berbeda. Rania selalu dikeluarkan karena kejahatannya.

Salena menghantar Rania ke sekolah barunya. Rania tersenyum senang, baru tadi malam ia melakukan ritual kecantikan abadi. Pastilah semua pelajar lelaki akan menyukainya. Tekaan Rania tepat.

Ketika ia melangkah semua pelajar lelaki memandangnya dengan cinta. Rania melihat sekeliling. Hatinya geram, ada satu pelajar yang tidak mengendahkannya. Rania berjanji akan meluluhkan hati pelajar lelaki itu.

Kebetulan sebelah tempat duduk pelajar lelaki tersebut kosong, di samping pelajar tersebut ada air minum. Rania tersenyum. Setelah memperkenalkan diri dan hampir semua pelajar memandangnya dengan cinta. Rania duduk do sebelah pelajar tersebut.

"Namaku Rania. Namamu siapa?" Rania sok cantik.

"Azim." Azim tak mengendahkan. Rania marah ia pun membisikkan matra pemikat di air Azim. Azim mau minum airnya. Ia membaca doa perlindung dan botol Azim pecah berteraburan. Rania kaget matranya gak berhasil.

Azim merasa curiga tetapi ia tetap bersangka baik, mungkin memang waktunya botol ini pecah.

Ketika waktu istirehat, Azim didatangi seorang gadis cantik, berkerudung putih dan wajahnya sangat lembut.

"Layila, bawa bekal lagi ya?" Layila tersenyum dan menyodorkan bekalan kepada Azim.

"Ini buatanku sendiri. Rasa ya, kita makan dimana?" Layila masih tersenyum manis sambil menganguk kecil ketika Rania melihatnya.

Azim bawa makanan di meja kosong belakang. Mereka berteman sejak kecil, ayah mereka berdua sama-sama ustaz. Jadi sebelum makan mereka selalu membaca doa bareng.

Layila seorang gadis riang, ada aja ulahnya yang membuat Azim ketawa padahal mereka sedang makan. Selesai makan Layila kembali ke kelasnya.

"Gak makan?" Tanya Azim, Rania kaget.

"Aku puasa" Lagi-lagi Rania tersenyum, senyum yang meluluhkan namun Azim masih tak mengendahkan. Azim mengangguk lalu duduk.

"Puasa untuk kecantikkan abadi." Bisik hati Rania dan ia pun tersenyum.

Usai persekolahan, Layila mengajak Azim temaninya di pustaka. Tugas yang menumpuk membuat mereka kelupaan waktu. Magrib menjelang malam, baru Layila selesai tugasnya.

"Azim, yuk pulang dah malam." Layila membangunkan Azim yang ketiduran. Azim bangun dan kaget.

"Yuklah." Mereka pun keluar dari pustaka. Tiba-tiba pintu pustaka tertutup dengan kencang. Mereka berdua kaget. Layila memegang baju lengan Azim. Tubuhnya dah gementar takut. Belum lama kemudian nampaklah bayang hitam melintas dengan mereka.

Layila menjerit dan Azim mengejar bayang hitam itu sehingga ke tangga. Licin, Azim terjatuh di tangga kepalanya kena sedikit hujung tangga.

"Azim, kamu gak apa-apa?" Azim membalikkan wajahnya mau bilang gak apa-apa. Layila menjerit.

"Azim, darah di kepalamu!" Azim mengelap sesuatu di dahinya.

"Ini cat bukan darah" seketika Azim melihat dan bau, iya yakin ada sesuatu. Apalagi bunyi yang gak menyenangkan dari atas.

"Layila, kamu okey?" Layila mulai menanggis.

"Yuk pulang Azim, aku takut." Azim mengangguk. Matanya terpandang laboratarium. Ada cahaya merah dari dalam sana.

"Sebentar Layila, aku mau pastikan lab dulu, ikut sebentar y." Layila mengangguk sambil tangannya masih memegang secebis kain baju Azim.

Di depan pintu lab, Azim menyodorkan penyapu ke Layila.

"Layila, aku masuk ya, ini kalau ada yang datang kamu pukul ya." Layila mengangguk sambil memegang keras penyapu tersebut.

Azim melihat keadaan lab, penuh dengan warna merah, ada rambut, ada gagak, ada hati ayam. Azim heran kenapa semua ini ada di lab. Tiba-tiba Layila menjerit, Azim berlari ke pintu.

"Azim, aku baru pukul seseorang dengan penyapu. Tolong aku." Mereka pun melihat siapa yang dipukul. Rania.

Azim mengambil sedikit air di kamar mandi dan menyiram Rania. Rania tersadar.

"Aduh, kepalaku sakit." Rania mengeluh.

"Kamu sedang apa di sini." Rania kaget melihat Azim dan Layila. Ia bisa ketauan sebagai tukang sihir.

"Aku ketinggalan tas, makanya aku datang ke sini. Terus aku liat ada orang, mau ku sapa, eh dipukul." Cerita Rania.

"Maaf ya Rania, aku takut. Aku gak sengaja pukul. Kamu gak apa-apa kan?" Rania mengangguk sambil mencoba bangun.

"Iya gak apa-apa, aku pulang dulu ya" Rania pun pergi.

Azim masih curiga, lalu ia pun membaca doa ruqiyah dan doa-doa pelindung di dalam lab. Baru ia mengajak Layila pulang.

Rania yang sembunyi di kamar mandi kembali ke lab setelah pastikan Azim dan Layila pulang. Hari ini ia mau mencoba mengabungkan sihirnya dengan bahan-bahan fisika, mungkin bisa lebih kuat. Namun, hasilnya mengecewakan. Semua bahan-bahan sihirnya habis terbakar.

"Ini pasti ulah Azim" Jerit Rania sekencang-kencang. Ia pun pulang dalam keadaan marah. Mulutnya kumat-kumat baca mantera, lalu kakinya ke atas udara, ia pun terbang ke rumahnya.

Di rumah Azim, ia mendiskusikan dengan ayahnya semua yang ia lihat di laboratorium sekolahnya.

"Azim, apa sebelumnya ada kejadian yang lain, yang aneh menurutmu?" Azim berusaha berpikir.

"Botol minum Azim pernah pecah ketika Azim baca doa pelindung." Lama ayah Azim diam berpikir.

"Azim, mulai saat ini berhati-hatilah. Ayah curiga ada yang menggunakan sihir di sekolahmu. Apalagi kamu nampak lab sekolah kamu dipenuhi cahaya merah. Bisa jadi itu sihir merah. Oh ya, siapa yang dipukul oleh Layila yang kamu ceritakan tadi?" Ayah Azim seperti teringat sesuatu.

"Rania, namanya." Ayah Azim berpikir. Dulu ia pernah mengalahkan sepasang suami istri, ahli sihir merah, karena mereka tidak mau beriman. Tapi, ia tidak tau apakah mereka memiliki anak. Ia harus memastikan dulu.

"Azim, bawalah Rania ke rumah kita besok sesudah sekolah." Azim kaget.

"Kenapa ayah?"Hati Azim memberontak ingin bertanya.

"Ada yang ingin ayah pastikan" Azim pun terdiam. Setelah Azim menggangguk tanda paham. Mereka pun melangkah ke kamar masing-masing. Tidur.

Besoknya di sekolah Rania merasa curiga dengan Azim. Azim selalu memandangnya. Rania tersenyum, sihirnya mungkin berhasil.

Azim lama berpikir, kadang ia memandang Rania untuk mengajak ke rumahnya kadang lidahnya kelu. Ketika Azim teringat kata ayahnya, bagaimana bisa ia menolak.

"Rania." Suara perlahan Azim. Rania menoleh dengan senyuman termanis.

"Iya, ada apa Azim." Oh, sihirku berhasil, bisik hati Rania.

"Pulang sekolah ni, mampir ke rumahku yuk." Senyuman Rania makin menjadi-jadi.

"Aku mau, aku mau kok." Azim tersenyum sinis, mengajak Rania cukup gampang. Rania tersenyum-senyum senang. Kini semua lelaki menjadi taklukkannya. Layila, kasian padamu. Senyum Rania makin melebar.

"Aduh." Rania mengaduh, tangannya memegang dahinya. Teringat Layila membuatkan ia memegang dahinya dan masih sakit.

"Kenapa?" Azim bertanya.

"Dahiku masih sakit rupanya. Ku kira dah sembuh" Rania tersenyum malu-malu.

"Bentar lagi mungkin sembuh." Azim kembali menulis. Rania merasa curiga, apa efeknya sudah habis.

Setelah pembelajaran pertama selesai, mereka pun break sebentar. Layila datang menghampiri Azim.

"Azim, aku masak loh." Azim tersenyum.
Mereka pun ke meja belakang untuk makan. Layila ketawa bercerita membayangkan kisah semalam. Rania hanya memandang dengan iri melihat Azim ikutan ketawa.

Selesai makan Layila pun kembali ke kelasnya. Rania melihat Azim duduk disampingnya.

"Suka sama Layila ya?" Rania bersuara. Azim kaget tapi senyum.

"Kami sahabat kecil." Rania diam. Masih ada harapan untuknya. Entah mengapa, bagi Rania cowok yang susah ditaklukkan itu sempurna untuk dimiliki, punya tantangan sendiri.

Waktu pembelajaran selesai, Rania ikot Azim pulang. Layila mengejar Azim dari belakang.

"Azim, kenapa gak tunggu." Layila kelelahan.

"Sorry, ohya lupa bilang. Aku mau bawa Rania mampir ke rumah." Rania senyum sambil menganggukkan kepala ke Layila.

"Kenapa?" Layila bertanya.

"Nggak apa-apa kok. Suka aja bawa mampir." Azim jawab biasa aja. Layila cemburu.

"Yaudah, aku luan ya" Layila berjalan lebih cepat.

"Kok? Kan rumah kita searah." Suara Azim separuh menjerit namun Layila sudah jauh meninggalkan. Rania tersenyum, tau ia Layila cemburu.

Ayah Azim tersenyum melihat kedatangan Azim dan Rania. Ia nampak wajah Rania mirip sekali. Mirip pasangan suami istri tukang sihir merah yang dulu ia kalahkan. Untuk menambah keyakinannya ia membaca ayat ruqyah dan doa pelindung.

Rania tiba-tiba kepanasan, rasanya seperti terbakar. Ia sudah tak karuan. Wajahnya memerah. Ia tak sanggup lagi. Ia pun membaca mantranya.

"Lucifer, tolong aku" Bisik hati kecilnya, tapi sungguh ia tak sanggup lagi.
Ayah Azim tersenyum, mengertilah ia dengan kelakuan Rania, berhenti membaca ruqyah.

"Rania, silakan duduk." Rania lega, panasnya tadi hilang. "Azim, tolong bantu ibumu siapkan air minum di belakang. Azim mengangguk dan pergi.

"Nak Rania, maukah bapak tawarin sesuatu." Rania kaget, apakah itu. Ia pun mengangguk.

"Bertaubatlah, berserah diri pada Allah, bukan pada Lucifer." Kini terjawab sudah pertanyaan hati Rania. Ayah Azim bukan sebarangan orang, baru tadi ia hampir terbakar. Ia harus tenang.

"Bapak bilang apa?" Rania tersenyum. Ayah Azim ketawa kecil.

"Maafkan bapak, Rania. Sebelumnya bapak udah pernah ketemu orangtuamu dan mereka juga gak mau bertaubat. Dengan sangat terpaksa bapak musnahkan ilmu mereka. Nak Rania, bapak mau kamu bertaubat. Bapak gak mau memperlakukan kamu seperti bapak memperlakukan orangtuamu." Rania menanggis mendengar kata-kata ayah Azim. Ia mau balas dendam tapi ia yakin ia belum kuat. Orangtuanya aja bisa kalah apatah lagi dia. Dengan sangat terpaksa Rania mengangguk, kedepan ia akan mencari celah balas dendam.

"Apakah nak Rania setuju bertaubat?" Ayah Azim mengulang pertanyaan setelah melihat anggukan Rania. Lagi-lagi Rania menggangguk.

"Nak, jika demikian, tinggallah disini. Bapak akan pulihkan kamu. Jadilah anak angkat bapak." Rania terdiam, hanya menggangguk jawabannya.

Rania pun menetap di rumah Azim, menjadi sebagian keluarga Azim. Sungguh ia belum mendapat celah untuk balas dendam. Sampailah suatu malam, dan itu malam purnama. Kebetulan ayah lagi ceramah di masjid. Rania mengajak Azim kawanin ia jalan-jalan.

Rania tau, keluarga Azim kecuali ayah belum tau siapa dirinya yang sebenar. Mereka hanya diberitahu kalau ia anak yatim piatu sehingga ayah Azim mau adopsi. Azim pun menemaninya.

Sampailah mereka di kota, jalan kaki. Manusia seolah menghilang, kota yang selalunya dipenuhi manusia kini sepi. Tepat di tengah jalan besar, Azim merasa aneh, ada cahaya putih di bawah kakinya.

Lambang Lucifer, lingkaran setan. Azim terkejut dan Rania menghilang yang ada hanyalah seorang gadis berpakaian merah hitam menutupi seluruh tubuhnya hanya kepala yang terlihat. Itupun gelap. Azim berada tepat di tengah lingkaran setan. Rania tersenyum sambil memegang boneka lelaki seakan-akan itu Azim, kaki Rania terapung.

Tepat bawah bulan purnama Rania bisa leluasa menggunakan sihirnya kembali. Azim mengamati wajah Rania, ia tersenyum. Sungguh lucu, baru ia sadar Rania wanita bersihirkan sihir merah.

"Kau gak punya pilihan lagi Azim kecuali memegang tanganku dan kau akan menjadi milikku." Azim ketawa walaupun ia tau kondisinya sekarang hampir kritis.

"Maaf Rania, untuk apa aku memegang tanganmu." Lalu Rania mencucuk jantung boneka yang ada di tangannya. Azim menjerit kesakitan sambil memegang jantungnya. Kakinya lemah, ia jatuh terduduk.

"Menyerahlah Azim, sentuhlah tanganku. Aku akan menyelamatkanmu dari rasa sakit ini. Sentuhlah." Azim melihat bulan purnama. Rania mengulurkan tangannya, semakin dekat tangan Rania, semakin hampir.

"Rania menyerahlah, bulan purnama kini redup." Dengan sendirinya cahaya lucifer di bawah kaki Azim menghilang perlahan-lahan. Lingkaran setan yang menjerat diri Azim kini harus mengalah dengan ayat ruqyah dan doa pelindung. Situasi berbalik, Rania mulai kepanasan, tubuhnya seperti terbakar.

"Rania, taukah kau bulan itu kecil dan matahari itu besar. Matahari itu selalu menyinari bulan sehingga cahayanya membuatkan bulan terlihat. Namun ketika saatnya tiba, bulan pun bisa menutupi matahari. Iya bulan yang kecil pun bisa menutupi matahari yang besar dan kita panggilnya gerhana. Hilang cahaya, redup suasana. Saat ini, istilah itu sangat tepat buatmu. Mungkin tadi kau sangat hebat tapi situasi sekarang berbalik." Azim menghampiri Rania yang duduk tersungkur menahan panas terbakar tubuhnya. Azim mengeluarkan kerudung putih lalu menutupkan rambut Rania.

" Ini hadiah buatmu, asalkan kau tinggalkan segala yang hitam dan jadilah putih seperti kerudung ini" Rania tersentuh, air matanya membasahi pipi. Ia tau jika air matanya mengalir karena cinta kekuatan sihirnya melemah. Azim berjalan perlahan meninggalkan Rania. Dengan tiba-tiba kota kembali penuh dengan keramaian.

"Puteri Rania, puas Salena mencari Puteri." Rania memandang Salena yang muncul tiba-tiba.

"Puteri menanggis? Oh Puteri, sihir Puteri bakal melemah?" Rania mengelap air matanya.

"Maaf Salena, aku membebaskanmu. Aku sudah bertemu dengan keluarga baru dan akan kutinggalkan sihir merah ini." Salena terkejut.

"Tapi Puteri, Salena membawakan Red Tear ini buat Puteri mengenang kematian orangtua Puteri" Sebentuk bebola kristal berwarna merah bertukar tangan. Rania melihat sebentar lalu ia melempar keras bebola kristal tersebut. Salena terkejut, warna merah cahaya sihir berterbangan kemana-mana dan bebola kristalnya lenyap menjadi abu.

"Maafkan aku Salena, keputusanku udah final. Aku akan kembali kepada keluarga baruku yang menyanyangi aku. Jika bisa jujur, aku mulai jatuh cinta." Lalu, Rania meninggalkan Salena sendirian.

Waktu makin berlalu, Rania dengan senang hati belajar Islam dengan ayah Azim yang juga ayahnya. Persahabatan Azim, Rania dan Layila makin dekat.

Namun bagaimana kedepannya, Azim dengan sahabat kecilnyakah Layila ataupun dengan mualaf baru Rania Aisyah. Hanya waktu yang akan menentukan tapi satu hal yang pasti. Gerhana menjadi saksi Rania menyarungkan jilbab putih beriringan tumbuhnya titisan cinta di hatinya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RINDU

Tidak Untuk Pacaran

Guru dan Murid